HafizFauzan.co.cc

"Ya Allah, baguskanlah untukku agamaku yang jadi pangkal urusanku, baguskan pula duniaku yang jadi tempat penghidupanku, dan baguskanlah akhiratku yang padanya tempat kembaliku nanti, jadikanlah hidupku menjadi bekal bagiku dalam segala kebaikan, serta jadikanlah mati itu pelepas segala keburukan bagiku" (HR. Muslim)

Shalat ini dinamakan tarawih yang artinya istirahat karena orang yang melakukan shalat tarawih beristirahat setelah melaksanakan shalat empat raka’at. Shalat tarawih termasuk qiyamul lail atau shalat malam. Akan tetapi shalat tarawih ini dikhususkan di bulan Ramadhan. Jadi, shalat tarawih ini adalah shalat malam yang dilakukan di bulan Ramadhan. (Lihat Al Jaami’ li Ahkamish Sholah, 3/63 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9630)

Adapun shalat tarawih tidak disyariatkan untuk tidur terlebih dahulu dan shalat tarawih hanya khusus dikerjakan di bulan Ramadhan. Sedangkan shalat tahajjud menurut mayoritas pakar fiqih adalah shalat sunnah yang dilakukan setelah bangun tidur dan dilakukan di malam mana saja. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9630)

Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan). Bahkan menurut Ahnaf, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9631)

Keutamaan Shalat Tarawih

Pertama, akan mendapatkan ampunan dosa yang telah lalu.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759). Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh An Nawawi. (Syarh Muslim, 3/101)

Hadits ini memberitahukan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala dari Allah, bukan karena riya’ atau alasan lainnya. (Fathul Bari, 6/290)

Yang dimaksud “pengampunan dosa” dalam hadits ini adalah bisa mencakup dosa besar dan dosa kecil berdasarkan tekstual hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Mundzir. Namun An Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa kecil. (Lihat Fathul Bari, 6/290)

Kedua, shalat tarawih bersama imam seperti shalat semalam penuh.

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hal ini sekaligus merupakan anjuran agar kaum muslimin mengerjakan shalat tarawih secara berjama’ah dan mengikuti imam hingga selesai.

Ketiga, shalat tarawih adalah seutama-utamanya shalat.

Ulama-ulama Hanabilah (madzhab Hambali) mengatakan bahwa seutama-utamanya shalat sunnah adalah shalat yang dianjurkan dilakukan secara berjama’ah. Karena shalat seperti ini hampir serupa dengan shalat fardhu. Kemudian shalat yang lebih utama lagi adalah shalat rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu, sebelum atau sesudahnya). Shalat yang paling ditekankan dilakukan secara berjama’ah adalah shalat kusuf (shalat gerhana) kemudian shalat tarawih. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9633)

Tarawih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?” ‘Aisyah mengatakan,

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan. Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21)

As Suyuthi mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah wajib.”

Ibnu Hajar Al Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at. Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat lemah.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9635)

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11 raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 6/295)

Jumlah Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan

Jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.

‘Aisyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ

“Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/123, Asy Syamilah)

Bolehkah Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih Dari 11 Raka’at?

Mayoritas ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” (At Tamhid, 21/70)

Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.

Pertama, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ

“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir masuk waktu shubuh, lakukanlah shalat witir satu raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Muslim no. 489)

Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً

“Sesungguhnya engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.” (HR. Muslim no. 488)

Dari dalil-dalil di atas menunjukkan beberapa hal:

Keempat, Pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.

Alasan pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana hal ini telah diketahui dalam ilmu ushul.

Alasan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari 11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13 raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang. …Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)

Alasan ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada pertentangan.

Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)

Keenam, telah terdapat dalil yang shahih bahwa ‘Umar bin Al Khottob pernah mengumpulkan manusia untuk melaksanakan shalat tarawih, Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari ditunjuk sebagai imam. Ketika itu mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 21 raka’at. Mereka membaca dalam shalat tersebut ratusan ayat dan shalatnya berakhir ketika mendekati waktu shubuh. (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no. 7730, Ibnul Ja’di no. 2926, Al Baihaqi 2/496. Sanad hadits ini shahih. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/416)

Begitu juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. Dari As Saa-ib bin Yazid, beliau mengatakan bahwa ‘Umar bin Al Khottob memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daariy untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. As Saa-ib mengatakan, “Imam membaca ratusan ayat, sampai-sampai kami bersandar pada tongkat karena saking lamanya. Kami selesai hampir shubuh.” (HR. Malik dalam Al Muqatho’, 1/137, no. 248. Sanadnya shahih. Lihat Shahih Fiqih Sunnah 1/418)

Berbagai Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih

Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.

Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.

Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.

Al Kasaani mengatakan, “‘Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”

Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”

Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”

‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”

Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)

Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)

Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)

Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.

Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)

Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.

Orang yang keluar dari jama’ah sebelum imam menutup shalatnya dengan witir juga telah meninggalkan pahala yang sangat besar. Karena jama’ah yang mengerjakan shalat bersama imam hingga imam selesai –baik imam melaksanakan 11 atau 23 raka’at- akan memperoleh pahala shalat seperti shalat semalam penuh. “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka.

Yang Paling Bagus adalah yang Panjang Bacaannya

Setelah penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ

“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)

Dari Abu Hurairah, beliau berkata,

عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah)

Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.

Salam Setiap Dua Raka’at

Para pakar fiqih berpendapat bahwa shalat tarawih dilakukan dengan salam setiap dua raka’at. Karena tarawih termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan dengan dua raka’at salam dan dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى

“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ulama-ulama Malikiyah mengatakan, “Dianjurkan bagi yang melaksanakan shalat tarawih untuk melakukan salam setiap dua raka’at dan dimakruhkan mengakhirkan salam hingga empat raka’at. … Yang lebih utama adalah salam setelah dua raka’at.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9640)

Istirahat Tiap Selesai Empat Raka’at

Para ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali. (Lihat Al Inshof, 3/117)

Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.” (HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738)

Sebagai catatan penting, tidaklah disyariatkan membaca dzikir-dzikir tertentu atau do’a tertentu ketika istirahat setiap melakukan empat raka’at shalat tarawih, sebagaimana hal ini dilakukan sebagian muslimin di tengah-tengah kita yang mungkin saja belum mengetahui bahwa hal ini tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/420)

Ulama-ulama Hambali mengatakan, “Tidak mengapa jika istirahat setiap melaksanakan empat raka’at shalat tarawih ditinggalkan. Dan tidak dianjurkan membaca do’a-do’a tertentu ketika waktu istirahat tersebut karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal ini.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9639)

Surat yang Dibaca Ketika Shalat Tarawih

Tidak ada riwayat mengenai bacaan surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang panjang-panjang, maka itu lebih baik berdasarkan riwayat-riwayat yang telah kami sebutkan.

Ada anjuran dari sebagian ulama semacam ulama Hanafiyah dan Hambali untuk mengkhatamkan Al Qur’an di bulan Ramadhan dengan tujuan agar manusia dapat mendengar seluruh Al Qur’an ketika melaksanakan shalat tarawih.

Kesalahan-Kesalahan Dalam Shalat Tarawih
Menyeru Jama’ah dengan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Ulama-ulama hanabilah berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9634)
Dzikir Jama’ah dengan Dikomandoi. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat mengatakan, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189).
Bubar Sebelum Imam Selesai Shalat Malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang shalat (malam) bersama imam hingga ia selesai, maka ditulis untuknya pahala melaksanakan shalat satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, Shahih). Jika seseorang bubar terlebih dahulu sebelum imam selesai, maka dia akan kehilangan pahala yang disebutkan dalam hadits ini. Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.

Demikian sedikit pembahasan kami seputar shalat tarawih. Semoga Allah memberi taufik kepada kita agar dapat menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat tarawih dan amalan lainnya.

Wa shallaatu wa salaamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Alhamdulillahi robbil ‘alamin.

***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (http://rumaysho.com)
Dipublikasikan oleh www.muslim.or.id

Selengkapnya...

Assalamu'alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Sahabat-sahabatku yang dirahmati Allah subhaanahu wa ta'ala
Mohon do'a restu dan berbagi kebahagiaan di acara pernikahan kami,
insya Allah akan dilaksanakan pada:

Ahad, 16 Agustus 2009
10:00 - 13:00 WIB
Kediaman Mempelai Wanita
Cipinang Muara No. 30 Jatinegara - Jakarta Timur

Wassalamu'alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Alif & Hafiz






Selengkapnya...

Walimah
Walimatul 'ursy (pesta pernikahan) hukumnya wajib [1] dan diusahakan sesederhana mungkin.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing” [2]

• Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan orang-orang yang mengadakan walimah agar tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja, tetapi hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Karena makanan yang dihidangkan untuk orang-orang kaya saja adalah sejelek-jelek hidangan.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya” [3]

• Sebagai catatan penting, hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, sesuai sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Janganlah engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang bertaqwa” [4]

• Orang yang diundang menghadiri walimah, maka dia wajib untuk memenuhi undangan tersebut.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika salah seorang dari kamu diundang menghadiri acara walimah, maka datangilah!” [5]

• Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun orang yang diundang sedang berpuasa.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Apabila seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan itu. Apabila ia tidak berpuasa, maka makanlah (hidangannya), tetapi jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia men-do’akan (orang yang mengundangnya)” [6]

• Dan apabila yang diundang memiliki alasan yang kuat atau karena perjalanan jauh sehingga menyulitkan atau sibuk, maka boleh baginya untuk tidak menghadiri undangan tersebut.[7]

Hal ini berdasarkan riwayat dari ‘Atha' bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu pernah diundang acara walimah, sementara dia sendiri sibuk membereskan urusan pengairan. Dia berkata kepada orang-orang, “Datangilah undangan saudara kalian, sampaikanlah salamku kepadanya dan kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk” [8]

• Disunnahkan bagi yang diundang menghadiri walimah untuk melakukan hal-hal berikut:

Pertama: Jika seseorang diundang walimah atau jamuan makan, maka dia tidak boleh mengajak orang lain yang tidak diundang oleh tuan rumah.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, “Ada seorang pria yang baru saja menetap di Madinah bernama Syu’aib, ia punya seorang anak penjual daging. Ia berkata kepada anaknya, ‘Buatlah makanan karena aku akan mengundang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang bersama empat orang disertai seseorang yang tidak diundang. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau mengundang aku bersama empat orang lainnya. Dan orang ini ikut bersama kami. Jika engkau izinkan biarlah ia ikut makan, jika tidak maka aku suruh pulang.’ Syu’aib menjawab, ‘Tentu, saya mengizinkannya’” [9]

Kedua: Mendo’akan bagi shahibul hajat (tuan rumah) setelah makan.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

“Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka” [10]

Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:

“Ya Allah, berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka, ampunilah mereka dan sayangilah mereka.” [11]

Atau dengan lafazh:

“Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberi makan kepadaku, dan berikanlah minum kepada orang yang memberi minum kepadaku” [12]

Atau dengan lafazh:

“Telah berbuka di sisi kalian orang-orang yang berpuasa, dan telah menyantap makanan kalian orang-orang yang baik, dan para Malaikat telah mendo’akan kalian.” [13]

Ketiga: Mendo’akan kedua mempelai.

Do’a yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

“Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi pernikahanmu, serta semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan” [14]

• Disunnahkan menabuh rebana pada hari dilaksanakannya pernikahan.
Ada dua faedah yang terkandung di dalamnya:

1. Publikasi (mengumumkan) pernikahan.
2. Menghibur kedua mempelai.

Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Pembeda antara perkara halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah rebana dan nyanyian (yang dimainkan oleh anak-anak kecil)” [15]

Juga berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia pernah mengantar mempelai wanita ke tempat mempelai pria dari kalangan Anshar.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata,

“Wahai ‘Aisyah, apakah ada hiburan yang me-nyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar suka kepada hiburan.” [16]

Dalam riwayat yang lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian mengirimkan bersamanya seorang gadis (yang masih kecil -pen) untuk memukul rebana dan menyanyi?” ‘Aisyah bertanya, “Apa yang dia nyanyikan?” Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia mengucapkan:

Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian
Hormatilah kami, maka kami hormati kalian
Seandainya bukan karena emas merah
Niscaya kampung kalian tidaklah mempesona
Seandainya bukan gandum berwarna coklat
Niscaya gadis kalian tidaklah menjadi gemuk.[17]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Umumkanlah (meriahkanlah) pernikahan.” [18]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i , Imam Malik dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Berdasarkan perintah Nabi ‘alaihish shalaatu was salaam kepada Shahabat ‘Abdurrahman bin ‘Auf agar mengadakan walimah. Sedangkan Jumhur ulama berpendapat bahwa walimah hukumnya sunnah muakkadah. Wallaahu a’lam.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2049 dan 5155), Muslim (no. 1427), Abu Dawud (no. 2109), an-Nasa'i (VI/119-120), at-Tirmidzi (no. 1094), Ahmad (III/190, 271), ath-Thayalisi (no. 2242) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu.
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5177), Muslim (no. 1432), Abu Dawud (no. 3742), Ibnu Majah (no. 1913) dan al-Baihaqi (VII/262), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim.
[4]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4832), at-Tir-midzi (no. 2395), al-Hakim (IV/128) dan Ahmad (III/38), dari Shahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5173), Muslim (no. 1429 (96)), Abu Dawud (no. 3736) dan at-Tirmidzi (no. 1098), Ibnu Majah (no. 1914), Ahmad (II/20, 22, 37, 101), al-Baihaqi (VII/ 262) dan al-Baghawi (IX/138), dari Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1431 (106)), Ahmad (II/507), al-Baihaqi (VII/263) dan lafazh ini miliknya, dari Abu Hurairah.
[7]. Al-Insyiraah fii Adaabin Nikaah (hal. 41-42).
[8]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 19664). Al-Hafizh berkata, “Sanadnya shahih.” (Fat-hul Baari IX/247).
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan al-Bukhari (no. 2081, 2456, 5434, 5461), Muslim (no. 2036 (138)), Ahmad (IV/120, 121) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (IX/145, no. 2320).
[10]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/187-188), dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2042), at-Tirmidzi (no. 3576), Abu Dawud (no. 3729), dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallaahu ‘anhu.
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2055), Ahmad (VI/2, 3, 4, 5), dari Sahabat al-Miqdad bin al-Aswad radhiyallaahu ‘anhu. Do’a tersebut diucapkan pula bila kita diundang makan atau makan di rumah orang lain ketika bertamu atau lainnya.
[13]. Diriwayatkan oleh Ahmad (III/118, 138), Abu Dawud (no. 3854), al-Baihaqi (VII/287), an-Nasa'i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 299) dan Ibnu Sunni (no. 482), dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. Do’a ini diucapkan ketika seseorang berbuka puasa di rumah orang lain, juga ketika kita diundang makan. Lihat Adabuz Zifaf (hal. 171) cet. Darus Salam, th. 1423 H.
[14]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2130), at-Tirmidzi (no. 1091), Ahmad (II/381), Ibnu Majah (no. 1905), al-Hakim (II/183) dan al-Baihaqi (VII/148), dari Sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[15]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh an-Nasa-i (VI/127-128), at-Tirmi-dzi (no. 1088), Ibnu Majah (no. 1896), Ahmad (III/418 dan IV/259), al-Hakim (II/183) dan ia berkata, “Sanadnya shahih.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[16]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5162), al-Hakim (II/183-184), al-Baihaqi (VII/288) dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 2267).
[17]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1900), Ahmad (III/391), al-Baihaqi (VII/289), dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma.
[18]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 1285 al-Mawaarid), Ahmad (IV/5), al-Hakim (II/183) dan al-Baihaqi (VII/288), dari ‘Abdullah bin Zubair radhiyallaahu ‘anhu.

Selengkapnya...

Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya:

1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul

• Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [1]

Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali.” [2]

Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah), pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” [3]

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak sah nikah melainkan dengan wali.” [4]

Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” [5]

Tentang wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang gadis atau janda menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah.

Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang shahih dan juga berdasarkan dalil dari Al-Qur’anul Karim.

Allah Ta’ala berfirman:
"Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]

Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut ini. Tentang firman Allah: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka,” al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, Telah menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar, sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,

“Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menceraikannya. Sehingga ketika masa ‘iddahnya telah berlalu, laki-laki itu (mantan suami) datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, ‘Aku telah menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu engkau menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali kepadamu selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan wanita itu pun menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka Allah menurunkan ayat ini: ‘Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka.’ Maka aku berkata, ‘Sekarang aku akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah.’” Kemudian Ma‘qil menikahkan saudara perempuannya kepada laki-laki itu.[6]

Hadits Ma’qil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih lagi mulia. Hadits ini merupakan sekuat-kuat hujjah dan dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak sah nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam hadits ini, Ma’qil bin Yasar yang berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya yang akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-sama ridha. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu surat al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, wali sebagai syarat sahnya nikah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, “Para ulama berselisih tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir menyebutkan bahwa tidak ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal itu.” [7]

Imam asy-Syafi’i rahimahullaah berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada nikah baginya (tidak sah). Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Maka nikahnya bathil (tidak sah).’”[8]

Imam Ibnu Hazm rahimahullaah berkata, “Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis, melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya, kakeknya, pamannya, atau anak laki-laki pamannya...” [9]

Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga tidak boleh mewakilkan kepada selain walinya untuk menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita memiliki dalil bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali.”

• Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan
Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju.

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya.” Para Shahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah ijinnya?” Beliau menjawab, “Jika ia diam saja.” [11]

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedangkan ia tidak ridha. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan pilihan kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia ingin membatalkannya). [12]

• Mahar
“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” [An-Nisaa’ : 4]

Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan.

Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya.

Syari’at Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan.

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya.” [13]

‘Urwah berkata, “Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan.”

‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’” [14]

Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Qur’an yang dihafalnya. [15]

• Khutbah Nikah
Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut:

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [Ali ‘Imran : 102]

"Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa' : 1]

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, nis-caya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab : 70-71]

Amma ba’du: [17]

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
__________
Foote Note
[1]. Al-Mughni (IX/129-134), cet. Darul Hadits.
[2]. Fat-hul Baari (IX/187).
[3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2083), at-Tirmidzi (no. 1102), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad (VI/47, 165), ad-Darimi (II/137), Ibnul Jarud (no. 700), Ibnu Hibban no. 1248-al-Mawaarid), al-Hakim (II/168) dan al-Baihaqi (VII/105) dan lainnya, dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani dalam kitabnya Irwaa-ul Ghaliil (no. 1840), Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1524) dan Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 880).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2085), at-Tirmidzi (no. 1101), Ibnu Majah (no. 1879), Ahmad (IV/394, 413), ad-Darimi (II/137), Ibnu Hibban (no. 1243 al-Mawaarid), al-Hakim (II/170, 171) dan al-Baihaqi (VII/107) dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq (VI/196, no. 10473), ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (XVIII/142, no. 299) dan al-Baihaqi (VII/125), dari Shahabat ‘Imran bin Hushain. Hadits ini dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7557). Hadits-hadits tentang syarat sahnya nikah wajib adanya wali adalah hadits-hadits yang shahih. Tentang takhrijnya dapat dilihat dalam kitab Irwaa-ul Ghaliil fii Takhriij Ahaadiits Manaris Sabil (VI/235-251, 258-261, no. 1839, 1840, 1844, 1845, 1858, 1860).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (5130), Abu Dawud (2089), at-Tirmidzi (2981), dan lainnya, dari Shahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Fat-hul Baari (IX/187).
[8]. Al-Umm (VI/35), cet. III/Darul Wafaa’, tahqiq Dr. Rif’at ‘Abdul Muththalib, th. 1425 H.
[9]. l-Muhalla (IX/451).
[10]. Dinukil secara ringkas dari kitab al-Mughni (IX/119), cet. Darul Hadits-Kairo, th. 1425 H, tahqiq Dr. Muhammad Syarafuddin dan Dr. As-Sayyid Muhammad as-Sayyid.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5136), Muslim (no. 1419), Abu Dawud (no. 2092), at-Tirmidzi (no. 1107), Ibnu Majah (no. 1871) dan an-Nasa-i (VI/86).
[12]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2096), Ibnu Majah (no. 1875). Lihat Shahih Ibni Majah (no. 1520) dan al-Wajiiz (hal. 280-281).
[13]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/77, 91), Ibnu Hibban (no. 1256 al-Mawaarid) dan al-Hakim (II/181). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Irwaa-ul Ghaliil (VI/350).
[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2117), Ibnu Hibban (no. 1262 al-Mawaarid) dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (I/221, no. 724), dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu. Dishahihkan Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiihul Jaami’ (no. 3300).
[15]. Berdasarkan hadits yang diriwauyatkan oleh al-Bukhari (no. 5087) dan Muslim (no. 1425).
[16]. Lihat kitab Khutbatul Haajah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H, dan Syarah Khutbah Haajah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, takhrij wa ta’liq Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Daarul Adh-ha, th. 1409 H.
[17]. Khutbah ini dinamakan khutbatul haajah (ÎõØúÈóÉõ ÇáúÍóÇÌóÉö), yaitu khutbah pembuka yang biasa dipergunakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengawali setiap majelisnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan khutbah ini kepada para Shahabatnya radhiyallaahu ‘anhum. Khutbah ini diriwayatkan dari enam Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (I/392-393), Abu Dawud (no. 1097 dan 2118), an-Nasa-i (III/104-105), at-Tirmidzi (no. 1105), Ibnu Majah (no. 1892), al-Hakim (II/182-183), ath-Thayalisi (no. 336), Abu Ya’la (no. 5211), ad-Darimi (II/142) dan al-Baihaqi (III/214 dan VII/146), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini shahih.
Hadits ini ada beberapa syawahid (penguat) dari beberapa Shahabat, yaitu:
1. Shahabat Abu Musa al-Asy’ari (Majma’uz Zawaa-id IV/288).
2. Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas (Muslim no. 868, al-Baihaqi III/214).
3. Shahabat Jabir bin ‘Abdillah (Ahmad II/37, Muslim no. 867 dan al-Baihaqi III/214).
4. Shahabat Nubaith bin Syarith (al-Baihaqi III/215).
5. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha.
Lihat Khutbatul Haajah Allatii Kaana Rasuulullaah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Yu’allimuhaa Ash-haabahu, karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah, cet. IV/ al-Maktab al-Islami, th. 1400 H dan cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H.

Di setiap khutbahnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam selalu memulai dengan memuji dan menyanjung Allah Ta’ala serta ber-tasyahhud (mengucapkan dua kalimat syahadat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh para Shahabat:
1. Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallaahu ‘anha, ia berkata: “... Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: Amma ba’du....” (HR. Al-Bukhari, no. 86, 184 dan 922)
2. ‘Amr bin Taghlib, dengan lafazh yang sama dengan hadits Asma’. (HR. Al-Bukhari, no. 923)
3. ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata: “...Tatkala selesai shalat Shubuh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghadap kepada para Shahabat, beliau bertasyahhud (mengucapkan kalimat syahadat) kemudian bersabda: Amma ba’du...” (HR. Al-Bukhari, no. 924)
4. Abu Humaid as-Sa’idi berkata: “Bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri khutbah pada waktu petang sesudah shalat (‘Ashar), lalu beliau bertasyahhud dan menyanjung serta memuji Allah yang memang hanya Dia-lah yang berhak mendapatkan sanjungan dan pujian, kemudian bersabda: Amma ba’du...” (HR. Al-Bukhari no. 925).

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Setiap khutbah yang tidak dimulai dengan tasyahhud, maka khutbah itu seperti tangan yang berpenyakit lepra/kusta.” (HR. Abu Dawud no. 4841; Ahmad II/ 302, 343; Ibnu Hibban, no. 1994-al-Mawaarid; dan selainnya. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 169).

Menurut Syaikh al-Albani, yang dimaksud dengan tasyahhud di hadits ini adalah khutbatul haajah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada para Shahabat radhiyallaahu ‘anhum, yaitu: “Innalhamdalillaah...” (Hadits Ibnu Mas’ud).

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah: “Khutbah ini adalah Sunnah, dilakukan ketika mengajarkan Al-Qur-an, As-Sunnah, fiqih, menasihati orang dan semacamnya.... Sesungguhnya hadits Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, tidak mengkhususkan untuk khutbah nikah saja, tetapi khutbah ini pada setiap ada keperluan untuk berbicara kepada hamba-hamba Allah, sebagian kepada se-bagian yang lainnya...” (Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah, XVIII/286-287)

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullaah berkata, “...Sesungguhnya khutbah ini dibaca sebagai pembuka setiap khutbah, apakah khutbah nikah, atau khutbah Jum’at, atau yang lainnya (seperti ceramah, mengajar dan yang lainnya-pent.), tidak khusus untuk khutbah nikah saja, sebagaimana disangka oleh sebagian orang...” (Khutbatul Hajah (hal. 36), cet. I/ Maktabah al-Ma’arif).

Kemudian beliau melanjutkan: “Khutbatul haajah ini hukumnya sunnah bukan wajib, dan saya membawakan hal ini untuk menghidup-kan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang ditinggalkan oleh kaum Muslimin dan tidak dipraktekkan oleh para khatib, penceramah, guru, pengajar dan selain mereka. Mereka harus berusaha untuk menghafalnya dan mempraktekkannya ketika memulai khutbah, ceramah, makalah, atau pun mengajar. Semoga Allah merealisasikan tujuan mereka.” (Khutbatul Haajah (hal. 40) cet. I/ Maktabah al-Ma’arif, dan an-Nashiihah (hal. 81-82) cet. I/ Daar Ibnu ‘Affan/th. 1420 H.)

Selengkapnya...

Hadirilah…!!!
Kajian Ilmiah Islam (Umum Ikhwan dan Akhowat)

Tema:
Siapa Bilang Sunni-Syi’ah Tidak Bisa Bersatu
(Debat Terkini Dua Guru Besar Prof. Dr. Ahmad al Ghomidi & prof. Dr. Muhammad al Gaswini)

Narasumber:
Ustadz Abu Qotadah
(Murid Syaikh Muqbli bin hadi al Wadl’i – Yaman dan Pemimpin PonPes Ihya’us Sunnah – Tasikmalaya)

Waktu: Ahad, 09 Agustus 2009 (09.00 wib – Selesai)

Tempat: Masjid Nurul Iman Jl. Raya Pos Pengumben No.21 Srengseng Kembangan – Jakarta Barat

Informasi: 0813.8068.5404



Selengkapnya...